Lemon Tea

"Bukankah kamu tahu, Sarah. Steve, anak pemilik induk perusahaan yang memperkerjakanmu dan juga aku, telah lama menyukaimu, sarah. Bahkan saat bersamaku, Steve lebih banyak berbicara tentang dirimu, dibanding tentang proyek raksasa yang sedang dijalankannya. Ini gila. Bahkan didepan para pemegang saham, dia masih sempat berbisik padaku, bertanya bagaimana kabarmu, sarah." Tom, manajer tempatku bekerja, sekarang telah berubah sepenuhnya menjadi manajer hidupku. Yah, mengatur segala tentang hidupku. Termasuk mengatur diriku bagaimana cara membalas perasaanku kepada Steve, bujang lapuk kaya raya yang kurang waras itu. 

Aku mengembuskan napas, seperti habis berlari-lari mengelilingi kantor divisi HRD yang lebarnya hampir setengah hektar ini.  Pernyataan Tom tentang begitu banyak kebaikan Steve yang diberikan padaku, membuat dada ini semakin sesak. Tidak ada jawaban tidak, harus ya.

"Bukankah kamu sudah tahu bahwa mobil mulus Porsche Carrera yang kamu gunakan setiap hari itu bukan hadiah cuma-cuma dari kantor?" Steve mengungkit masalah itu lagi, aku mengangguk malas.

"Sarah, kamu hanya seorang sekertaris yang terlalu beruntung. Mungkin jika Steve tidak melihat wajahmu hari itu, Kamu pasti masih saja mengendarai mini cooper butut milikmu itu." Tom mulai menggebu. Dada ini ingin meledak rasanya. Memang dia pikir aku pelacur? Mengemis pada Steve, pria gila yang terlalu mengemis cinta. Pria yang hanya menawarkan kemewahan dan kemapanan yang terlalu semu. Aku tak menyukai pria gila macam Steve dan sekarang juga Tom. 

"Come on, Tom. Aku bukan adik perempuanmu. Jika kamu mau, ambil saja mobil mahal itu, juga Steve, bujang lapuk yang kurang waras itu." Aku tinggalkan ruangan Tom dengan rasa kesal yang masih membekas. sebenarnya aku sudah lama ingin keluar dari perusahaan ini. Aku yakin, banyak perusahaan bonafide di luar sana yang mau menerimaku.

Tapi, aku masih mempertahankan pekerjaan ini karena dia, pria berwajah sendu itu, yang saat ini duduk menghadap layar komputer. Dengan cekatan, pria itu memainkan kesepuluh jarinya. Meyelesaikan pekerjaannya, pekerjaan yang mungkin tak akan pernah selesai, terkecuali perusahaan ini musnah bersama Steve, dan keluarganya, dan juga kacung-kacung setia miliknya, seperti Tom. 

Saat itu juga, sepuluh detik berlalu saat menatap dia, perlahan aku bisa melupakan kekesalanku kepada Tom.

Aku menatap wajah pria itu lagi. Pria yang selalu aku temui saat pagi, hingga larut malam. Pria yang selalu mengerti dengan semua kekesalanku. Christopher, nama pria itu, belum terlalu matang untuk disebut seorang pria. Dia hanya seorang fresh graduade, yang telah lancang, terlalu tahu tentang ini dan itu. Tanpa jam terbang yang terlalu tinggi, tanpa pengalaman yang panjang, tapi, pria itu memiliki wawasan luas, dan aku terpesona.

Satu menit nyaris berakhir, pria yang aku tatap itu, menyadari keberadaanku yang sedari tadi hanya berdiri satu setengah meter dari ruang kerjanya.

Dia tersenyum.

Aku membalasnya, sambil mengucapkan kalimat yang tak bersuara. 

"Mau minum kopi?" Tanyaku yang hanya mengerak-gerakan bibirku. Tanpa bersuara.

Chris mengangguk, sambil melebarkan kelima jari tangan kanannya. "Lima menit lagi" balasnya. Aku tersenyum mengiyakan.
***
"Lemon tea, lagi? Tapi, kau menawarkanku kopi, Sarah. Dan sekarang kau malah memesan lemon tea? Aku merasa tertipu." Tukas Chris. Aku nyaris tertawa saat perlahan teh bercampur lemon itu mulai memasuki kerongkonganku.

"Nyatanya kau berada di sini dengan coffee latte favoritmu, Chris. Come on, aku harus menjaga berat badanku." Chris tersenyum menanggapiku 

"Ah, aku tiba-tiba teringat mini cooper berwarna kuning milikmu, Sarah. Di mana sekarang? Aku menyukainya. Terutama warnanya yang mencolok." Chris mulai bertanya sambil sesekali memainkan bibir cangkir coffe latte miliknya.

"Besok, mulai besok aku akan membawanya, Chris."

"Bagaimana dengan mobil mewah itu? Pemberian Tuan Steve. Kamu putus dengan dia?" Aku menghela napas. Berita bohong tentang aku dan Steve memamng sudah tersebar, dan itu yang membuatku semakin kesal.

"Bahkan aku belum memulainya, Chris. Tidak, tidak akan pernah. Aku akan memberikan mobil itu kepada Tom. Aku rasa dia yang lebih tertarik dengan pria kurang waras itu." Aku tersenyum kecut. Sekilas aku melihat wajah Chris tersenyum. "Kamu tersenyum Chris? Meratapi kebodohanku?" aku bertanya dengan wajah masam. Tawa Chris terlalu mengusik.

"Tentu tidak, Sarah. Steve pria kaya kamu tolak mentah-mentah. Lalu, pria seperti apa yang kamu mau?" Steve bertanya, sambil memandang lurus ke arah mataku.

"Aku ingin seorang pria yang selalu ada untukku, disaat aku ingin menyesapi secangkir lemon tea hangat. Setiap saat, setiap waktu." Tawa Chris seketika berhenti. Lemon tea dan coffe latte yang ada di atas meja cafetaria menjadi saksi, betapa aku mencintai dia, pria yang masih ranum itu. Pria yang hanya berjarak lima tahun lebih muda dariku. Yang terkadang membuatku merasa kurang waras.

0 komentar:




Mom untuk Jane

Namanya Jane, gadis kecil berambut pirang, dengan kulit pucat mirip porselin. Aku mengenal Jane saat pertama kali menginjakkan kakiku di rumah ini, rumah yang saat ini aku tempati bersama Mom dan juga Dad.

Aku mengenal nama Jane saat hari kelima, saat aku memandang tubuh mungil Jane yang terlalu lama bercokol di kursi meja makan. Tatapan Jane kosong. Angannya pergi entah kemana. Jane mungkin tak tahu aku telah mengamatinya sejak dua menit terakhir.

Aku berdiri dekat gramofon tua, peninggalan empunya yang mati entah sejak kapan. sambil melihat ke arah Jane terus menerus. Berharap dia berpaling ke arahku. Dan benar saja, hampir di menit keempat, cahaya mata berwarna silver milik Jane, menatap ke arahku. Aku tersenyum. Jane menyambutnya.

Sejak itu aku tahu, namanya Jane, Jennifer Louis. Tubuhnya mungil, lebih mungil tiga centi dari tubuhku. Jane mengenakan gaun berwarna pastel, model baju bertumpuk-tumpuk dengan renda-renda yang mengelilingi baju bergaya Victoria itu, namun dengan panjang hanya selutut. Jane juga mengenakan pita berwarna merah di rambutnya, senada dengan sepatu yang dikenakannya. Rambutnya yang merah kecokelat-cokelatan begitu bercahaya saat matahari mulai malu-malu memasuki jendela rumahku. Jane selalu tersenyum, terutama saat melihat boneka maronette pinokio milikku. Jane tertawa saat aku mulai menggerak-gerakkan tali-tali yang bersarang di tubuh pinokio itu. Jane juga menyukai saat aku berkeliling menggunakan sekuter yang berbunyi ‘pom-pom’ milikku. Jane benar-benar teman yang menyenangkan.

Jane juga menceritakan banyak hal. Tentang Nyonya Grace, pemilik kursi tua yang berada di kamar Mom. Tentang Sir Arthur, pemilik cerutu yang saat ini bertengger di lemari hias milik Dad. Dan tentang semua yang ada di rumah ini.

Suatu ketika Jane kembali murung duduk terdiam lagi di meja makan. Wajahnya sendu. Menahan tangis, dan mungkin juga rindu. Aku ikut terdiam di meja makan, sambil melihat terus ke arah Jane, yang ternyata selama ini menunggu-nunggu kedatangan Ibunya.

Jane semakin sedih, terutama saat dia tak mengetahui keberadaan Ibunya. Hari itu pula, aku putuskan  meminjamkan Mom untuk Jane.

Aku melihat Jane tersenyum bahagia ketika menempel di punggung Mom. Semenjak itu pula Jane tak pernah mau turun dari punggung Mom. Jane benar-benar bahagia hingga melupakan aku, melupakan boneka-boneka marionette yang pernah dia kagumi, juga sekuter yang berbunyi aneh itu.

terutama saat dia memeluk tubuh Mom dari belakang. Dia tak memedulikanku. Hingga suatu ketika, Jane  berbisik padaku, dan berkata, Mom adalah miliknya. Sambil menyeringai menatap wajahku. 

Aku mulai ketakutan saat melihat mata silver milik Jane, lama-kelamaan mulai redup dan semakin menghitam.



Diikutsertakan dalam #NulisKilat (storial.co)
397 kata
Tema "Keluarga"




0 komentar:


3096 Hari
Natascha Kampusch


Gebieter, di hari kamu pergi aku menangis tersedu-sedu karena kehilanganmu. Tigaribusembilanpuluhenam hari, aku menyadari bahwa kita  belum pernah mencoba berdamai, saling merangkul, duduk berdua bersama dan berakhir dengan mengabadikan momen.  Di tahun pertama aku mendiami kamar kecil yang lebih menyerupai kandang babi. Tak sehari pun aku lewatkan tanpa menangis ketakutan, lalu kau datang membawakan sebilah kayu dan sekonyong-konyong kau hadiahkan ke tubuhku. Aku kira hari itu aku akan mati.
Tigaribusembilanpuluhenam hari, aku masih ingat. Di tahun kedua aku mendiami rumahmu, kau datang membawakan setumpuk pengharapan dari buku dan pensil yang kau beli kemarin sore. Kau bilang setidaknya aku harus tahu kabar dunia. Kau genggam tanganku, mengajariku menulis dan mengeja. Aku tahu di hari itu ada sisi lain darimu, Gebieter. Walaupun terkadang kau menghadiahiku bogem mentah di saat aku tidak berhasil mengeja huruf dengan baik.
Gebieter, aku masih ingat. Saat kau memberikan uang beberapa Euro untukku, lalu kau mengajakku jalan-jalan berkeliling Strasshof. Kau belikan aku baju, majalah, komik, dan loli. Aku menikmati loli pemberianmu, mengingatkanku  saat usiaku masih sepuluh tahun, saat aku belum mengenalmu.
Tigaribusembilanpuluhenam hari, malam itu, aku tertidur pulas. Tangan-tangan kasar menjelajahi tubuhku, merobek paksa baju yang aku kenakan. Seketika aku berteriak dan mencoba melawan. Namun tanganmu, Gebieter, Terlalu kuat. Aku menangis memohon kepadamu untuk tidak melakukannya, namun aku terlalu lemah. Semenjak hari itu kau sering datang ke kamarku, entah siang atau malam, kau tak perduli.  
23 Agustus 2006, aku pergi dari rumah itu tanpa sepengetahuanmu, Gebieter. Aku yakin kau pasti terkejut dan marah besar. Kau berkeliling kota mencariku, aku sudah tak perduli. Namun, dada ini sesak dan seketika tangisku pecah saat mendengar tubuhmu yang terguling kereta api. Di hari itu, di saat aku pergi meninggalkanmu, kau putuskan untuk mati. Hubungan kita berakhir sudah.
Delapan belas tahun aku mengenalmu, belum pernah seharipun kita lalui dengan baik.
Tapi entah mengapa, aku kehilangan.

Terinspirasi dari kisah penculikan seorang gadis yang bernama Natascha Kampusch:

https://en.wikipedia.org/wiki/Natascha_Kampusch

0 komentar:



PROMPT #138 - TANGAN-TANGAN BAJINGAN




Sumber gambar: Carolina Ratri







Nafasnya mendesah naik turun, Aku merasakannya hingga aku benar benar ketakutan tubuhku pun kaku, tak mampu bergerak. Di ruangan sempit ini, tubuhku diseret dengan kasar. Ubin yang ada di ruangan itu terbuat dari porselin berwarna gelap. bau basah, tak ada berkas cahaya masuk.  Aku tak tahu aku di mana. Pandanganku pun mulai kabur dan perlahan darah segar mengalir deras dari pelipis kananku. Aku mencoba tenang, namun aku terlalu panik. Aku melakukan perlawanan namun tangan kasar itu mendarat tepat dikedua pipiku. Berulang-ulang, hingga aku meringis kesakitan. Aku tak mampu melakukan perlawanan.  Aku pun pasrah.

Tiba-tiba tangan itu dengan kasar melucuti pakaianku, merobek paksa kemeja yang aku kenakan seharian, kancing hingga copot terlempar  jauh entah kemana. Tangan itu dengan kasar merobek paksa rok yang aku kenakan. Aku menjerit hingga serak, namun tak ada yang mendengar. Tangan itu meramah bagian yang selama ini aku jaga. Tangan itu, tak seharusnya meremah puting yang masih suci, merogoh bagian paling berharga bagi seorang gadis. Nafas bajingan itu, bau alkohol. Dia berkata tak karuan, aku mencoba melawan namun aku tak sanggup. Bajingan itu sialan itu, menghujaniku dengan ciuman membabibuta, mulutnya menjelajahi tubuhku yang telanjang bulat tanpa sehelai kain pun. Dia tertawa kegirangan, dan dia semakin bersemangat, tubuhnya yang berat beradu memaksa tubuhku naik turun mengikuti ritme gerakannya. Aku kesakitan. Sakit terlalu sakit. Dia tertawa lagi seolah berhasil mencapai orgasme. Lalu dia pergi menjauh dariku membawa minuman alkohol yang dia letakkan tepat di sampingku. 

Aku melihat seberkas cahaya saat dia buka pintu yang hanya berjarak beberapa meter dariku dan aku menganggap ini adalah kesempatan. Dengan sekuat tenaga aku merangkak berusaha keluar, aku menahan kesakitan karena gesekan tubuh bajingan itu dan tetap berusaha menuju pintu itu. 

Namun ada yang menarik rambutku dengan kasar. Dia menjambak sambil berkata kasar kepadaku. Pandanganku semakin kabur aku tak bisa berbuat banyak tangan itu terlalu kuat. Tubuhku yang lemah ini diseret paksa. Aku meringis kesakitan saat tangan itu menarik lenganku dengan kasar hingga robek. Kemaluannya memaksa masuk duburku hingga aku benar-benar kesakitan. Aku menjerit meminta pertolongan, namun hanya suara tawa terbahak-bahak yang aku dengar. Tubuhku telungkup menempel ubin, bajingan itu duduk di atas punggungku aku menahan beban berat bobot tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, dia menggenjot tubuhku hingga terasa remuk tak karuan. Semakin aku menjerit semakin bersemangat dia, semakin aku berteriak dan memberontak semakin kasar perlakuannya. Tangan nya yang kasar bertubi-tubi mendarat di kepalaku, kepalan tangan kasar itu sukses membuatku sempoyongan. Mulutnya mengigit, leher, bibir dan putingku dengan kasar. Aku kesakitan.

Tangan-tangan yang memaksaku untuk berseggama, berganti dari tangan satu ke tangan yang lain. Mereka bergilir meremah bagian yang membuat puncak kenikmatan. Mereka tertawa ketika menikmatinya. Tangan-tangan itu yang telah menjelajahi tubuhku dengan paksa. Tangan-tangan itu merenggut apa yang aku jaga selama ini. Dan tangan-tangan kasar itu pula menarik tubuhku dengan paksa seperti hewan, lalu tangan-tangan kasar itu melempar tubuhku ke dalam lubang yang basah dan aku merasakan dengan jelas ada gesekan pasir yang menyelimuti tubuhku. hingga aku sadari aku tenggelam di dalam gundukan pasir. Aku harap ada yang menemukan tubuhku yang malang.



Prompt #138
495 kata
Please, post your comment :')

0 komentar:

Recent Posts