Ada satu masa yang harus aku lewati
Untuk
menjemputmu...
Namun maaf, jika sekarang aku menyerah...
Karna ketidak
berdayaanku
Untuk menjemput
restu-Nya..
Secangkir
teh panas terhidang di atas meja, kepulan asapnya mengudara membawa serta
wewangian khas daun teh, tidak lupa mamak, sebutan ku untuk perempuan paruh
baya ini menambahkan bunga melati segar yang baru di petik dan membiarkannya
mengambang manis di atas cangkir teh,
Di
temani matahari sore aku sengaja singgah di rumah gubuk ini hanya untuk mencium
aroma segar teh buatan mamak, namun jika memungkinkan akupun berharap indra
penciuman ku ini mampu menangkap kedatangannya,
ya... Dia yang aku tunggu
“nduk..
bagaimana kabar bapak dan ibu? Sehat toh?”
tanya mamak membuka percakapan kita
“puji
tuhan mak kabar bapak dan ibu baik, tadi saja bapak dan ibu baru sembahyang ke gereja, oh iya mak
bapak titip salam buat mamak dia kangen sekali bergedel singkong buatan mamak,
jujur mak ibu pun sangat menyayangkan keputusan mamak yang tiba-tiba keluar
dari pekerjaan di rumah ciputat”
Kata
ku sambil menatap wanita yang duduk tepat di sebelahku, si mamak hanya
tersenyum simpul
“Hasan
di mana mak? Di ladang bantu bapak atau sedang main gaple sama kang woto? Atau
masih di gereja belajar injil?” pertanyaaku yang bertubi-tubi sudah mampu
menyiratkan bahwa sungguh aku ingin bertemu dengan dia yang sudah 5 tahun ini
tidak bertatap, berkilo-kilo jarak yang memisahkan antara aku dan Hasan, di
wina aku menimba ilmu, ku tinggalkan semua cerita cinta yang belum sempat aku
utarakan kepada Hasan, sungguh hanya sosoknya yang mampu membuat aku rela
terkekeng oleh rasa rindu.
“Hasan
yang kamu kenal 5 taun lalu berbeda dengan Hasan yang sekarang nduk. Mak saja
sampai saat ini tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan Hasan” jawab mamak
lagi-lagi sambil tersenyum.
“puji
tuhan mak kalo kebiasaan Hasan yang berubah itu sudah tidak main gaple lagi” lanjutku
dengan tawa renyah, dan lagi hanya senyum yang menjadi jawaban mamak, tapi
senyumnya kali ini penuh beban yang seolah-olah belum terbayarkan oleh mamak.
Atau karna perkara mamak yang sudah tau tentang perasaanku ke pada anak semata
wayangnya itu, entahlah tiba-tiba perasaan tak karuan meneyelimuti fikiranku,
sungguh apakah penolakan lagi? Oh tidak.
“nduk, dengarkan apa yang akan mamak mu ini
sampaikan “ suara tenang namun dalam terlontar dari bibir mamak, seolah aku
bisa membaca apa yang akan mamak utarakan, yang tentu saja langsung bisa
merubah suasana hati ku makin tidak karuan
“mak..
tolonglah jika yang akan mamak sampaikan tentang penolakan lagi aku mohon mak,
jangan mak tolak aku lagi untuk jadi mantu mamak, hanya karna alasan status
sosial kita” bibirku mulai bergetar, menahan air mata yang seolah berusaha
mewakili rasa kecewa ku kepada mamak
“mak..
aku tak perduli Hasan itu siapa, apakah dia anak mantan pembantu atau hanya
pekerja di ladang, yang aku tau dia yang mampu membuat aku menunggu selama 5
tahun mak! 5 tahun aku menuggu dia untuk aku utarakan rasa ini mak. Apa mamak
tega mencegahku lagi mengungkapkan rasa ku ini kepada Hasan, tolonglah mak...
biarkan Hasan tau dulu yang aku rasakan, kalau pun dia menolak, aku rela pergi
mak.. tak akan aku temui dia lagi..”
kalimat
terakhir yang membuat pertahananku goyah , tak mampu lagi aku membendung air
mata ini, ku tutupi wajahku dengan kedua tangan, berharap cepat redanya air
mata ini, dan dari hati ku yang terdalam berharap mamak mengerti apa yang aku
rasakan.
Haruskah
penolakkan lagi? Sungguh jika bisa waktu ku putar kembali ke 5 tahun lalu. Ya aku ingin kembali kemasa itu,
masa di mana semua penolakkan ini berawal, ini semua terjadi karna kepolosanku
bercerita kepada mamak tentang sikap pengecutku yang tak berani memberiakan
coklat paskah yang di dalamnya terdapat kertas yang bertuliskan ucapan selamat
tinggal untuk kepergian ku ke wina dan pengakuan perasaanku kepada Hasan. Semua
berawal dari situ, hingga mamak berhenti bekerja dari rumah ku, karna rasa
tidak pantas yang mamak katakan kepadaku, jika nantinya Hasan bersanding dengan
ku.
Semakin
kuratapi kebodohanku semakin menjadi aku menangis
“nduk..
sungguh jika kamu mengetahui apa yang terjadi dengan Hasan, akankah kamu masih
bisa berkata jika kamu mencintainya? Pastinya itu terasa sulit untuk mu nduk!,
karna Hasan yang dulu benar-benar berbeda dengan Hasan yang sekarang” bulir air
mata mulai membasahi pipi keriput mamak, seolah ia tak sanggup menceritakan apa
yang terjadi dengan anak semata wayangnya itu.
“memangnya
apa yang terjadi dengan Hasan mak? apakah ada suatu musibah yang menimpa Hasan?”
kulemparkan bertubi-tubi pertanyaan pada mamak, namun seolah-olah mulut mamak sudah
tidak sanggup menjawab pertanyaanku, malah yang terjadi semakin menjadi mamak
menangis
Ya
tuhan, apa yang terjadi dengan Hasan?
Namun
sedetik kemudian segala pertanyaanku terjawab.. ya segalanya terjawab
Sesosok
pria jangkung berbaju koko dan berpeci itu, berdiri di ambang pintu menutupi
sinar matahari yang menerobos melewati nya,
Tak
butuh waktu lama aku mengenali pria itu, aku terperangah olehnya, apakah ini
yang di maksud mamak? Bahwa aku tak mungkin bisa mencintainya lagi? Hasan yang
sekarang menjelma menjadi muslim sejati? Oh tidak, apakah penolakkkan ku kali ini
berasal dari tuhan?
Sosoknya
semakin mendekat dan mendekat tiba-tiba ia bersimpuh di bawah kaki mamak,
mencium kaki mamak, pungungnya bergetar hebat menagis, ya dia menangis sosok Hasan
menangis sampai-sampai ia tak menyadari keberadaanku di sini
Kini
ia menciumi tangan mamaknya dalam tangis ia berkata, yah.. sungguh kata-kata
yang tak ingin di dengar oleh aku
“mak
restuilah pernikahan aku dengan fatimah mak! aku benar-benar mencintainya!”
0 komentar: